Berikut daftar 5 besar partai pemenang Pemilu dari masa ke masa:
*Pemilu 2024 masih angka sementara Kamis (22/2/2024) per pukul 23.00 WIB (62,09%).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik yang berasal dari berbagai spektrum ideologi. Beberapa partai yang ikut serta dalam pemilu ini antara lain: Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), dan masih banyak lagi.
1. Partai Indonesia Baru
2. Partai Kristen Nasional Indonesia
3. Partai Nasional Indonesia
4. Partai Aliansi Demokrat Indonesia
5. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia
6. Partai Ummat Islam
7. Partai Kebangkitan Ummat
8. Partai Masyumi Baru
9. Partai Persatuan Pembangunan
10. Partai Syarikat Islam Indonesia
11. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
12. Partai Abul Yatama
13. Partai Kebangsaan Merdeka
14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa
15. Partai Amanat Nasional
16. Partai Rakyat Demokratik
17. Partai Syarikat Islam Indonesia
18. Partai Katolik Demokrat
19. Partai Pilihan Rakyat
20. Partai Rakyat Indonesia
21. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
22. Partai Bulan Bintang
23. Partai Solidaritas Pekerja
25. Partai Nahdlatul Ummat
26. Partai Nasional Indonesia - Front Marhaenis
27. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
29. Partai Islam Demokrat
30. Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen
31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak
32. Partai Demokrasi Indonesia
33. Partai Golongan Karya
35. Partai Kebangkitan Bangsa
36. Partai Uni Demokrasi Indonesia
37. Partai Buruh Nasional
38. Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong
39. Partai Daulat Rakyat
40. Partai Cinta Damai
41. Partai Keadilan dan Persatuan
42. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia
43. Partai Nasional Bangsa Indonesia
44. Partai Bhineka Tunggal Ika Indonesia
45. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia
46. Partai Nasional Demokrat
47. Partai Ummat Muslimin Indonesia
48. Partai Pekerja Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Pengamat hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona mengatakan bahwa ketua DPR RI dari partai pemenang Pemilu 2024 memiliki kekuatan untuk mengontrol jalannya pemerintahan.
"Saya pikir sudah tepat ketua DPR dari partai yang memiliki suara terbanyak agar dia punya power yang lebih besar untuk mengontrol pemerintahan," ujar Yance saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Kamis.
Hal ini pun sesuai dengan amanat Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau Undang-Undang MD3.
Adapun dalam UU MD3, aturan tersebut tertuang dalam Pasal 427 D ayat (1) huruf b yang berbunyi: Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.
Diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menetapkan PDI Perjuangan sebagai partai politik dengan raihan suara terbanyak untuk Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) DPR RI pada Pemilu 2024.
Partai berlambang banteng moncong putih itu pun memperoleh 25.387.279 suara dari total sebanyak 151.796.631 suara sah.
Oleh karena itu, Yance menilai apabila PDI Perjuangan menjadi oposisi pemerintah baru periode 2024–2029, maka mekanisme check and balances dapat berjalan.
"Check and balances bisa berjalan baik kalau ketua DPR bukan dari partai presiden," jelasnya.
Sebelumnya, Kamis (28/3), Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan partai pemenang Pemilu dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 berhak mendapatkan kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2024-2029.
“Pemenang pemilu legislatif, yang seharusnya berhak untuk menjadi ketua DPR," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan hal itu sesuai dengan amanat Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Hal tersebut disampaikan Puan saat menjawab pertanyaan wartawan soal kemungkinan dia menjabat kembali sebagai Ketua DPR RI untuk periode DPR tahun 2024-2029.
PDI Perjuangan (PDIP) kembali keluar menjadi partai pemenang Pileg untuk ketiga kalinya. Berdasarkan hasil perhitungan KPU, PDIP berhasil menjadi partai urutan pertama di Pileg 2024 dengan jumlah 16,72 persen suara. Sementara, Puan Maharani saat ini menjabat salah satu unsur ketua di DPP PDI Perjuangan.
Dengan hasil tersebut, kursi anggota Fraksi PDIP juga akan menjadi yang terbanyak di DPR. Artinya, PDIP berhak kembali memperoleh kursi Ketua DPR sesuai UU MD3.
Baca juga: Pengamat: Ketua DPR harus dari partai pemenang Pemilu 2024
Baca juga: Puan tegaskan partai pemenang pemilu berhak dapatkan kursi ketua DPR
Pewarta: Narda Margaretha SinambelaEditor: Budi Suyanto Copyright © ANTARA 2024
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 580 caleg DPR RI terpilih pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024. Dari total tersebut, PDI Perjuangan (PDIP) meraih kursi terbanyak di DPR RI dengan jumlah mencapai 110 kursi.
Hal itu diungkap Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin dalam Rapat Pleno Terbuka Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah Pemilu Tahun 2024 pada Minggu (25/8/2024). Turut hadir, perwakilan dari Bawaslu, elit partai politik dan stakeholder lainnya.
Dari 18 partai politik yang menjadi peserta pemilu pada 2024, hanya delapan partai yang memenuhi ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Sisanya, sebanyak 10 parpol tidak lolos ambang batas parlemen.
Adapun total ada 580 caleg yang dinyatakan lolos ke Senayan. Berdasarkan penghitungan perolehan kursi oleh KPU, PDI Perjuangan mendapat jatah kursi terbanyak yaitu 110 kursi, diikuti Partai Golkar 102 kursi, kemudian Partai Gerindra 86 kursi.
Jl. Kebon Sirih, No. 18, Jakarta Pusat 10110 Telp. (+6221) 3822951, 3822051 Fax. (+6221) 3843647 Email. [email protected]
DISINFORMASIBeredar informasi di media sosial TikTok yang menayangkan konten berita yang diklaim tentang KPU mendata orang gila hanya untuk kepentingan Pemilu.PENJELASANBerdasarkan hasil penelusuran, dilaporkan dalam cekfakta.tempo.co (17/10/2023) bahwa video yang digunakan dalam unggahan di TikTok tersebut sama dengan berita CNN TV yang dipublikasikan di situs mereka pada Selasa, 19 Maret 2023. Namun, berita tersebut bukan terkait pendataan pemilu.Berita itu memperlihatkan kegiatan sosialisasi tata cara pencoblosan dalam Pemilu 2019 pada kelompok penyandang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di sebuah pesantren, di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Sosialisasi dilakukan oleh para relawan.Dilansir nasional.tempo.co (23/09/2021), Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Maharddhika menyatakan, hak untuk memilih bagi ODGJ telah dijamin dalam UUD 1945, UU HAM, UU Kesehatan, dan UU Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas.Selain itu, terkait penyebutan gila pada klaim, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Edo S Jaya, dikutip dari The Conversation mengatakan, sebaiknya istilah gila tidak digunakan untuk menyebut pengidap ODGJ. Lantaran istilah gila membawa kerancuan bila dimasukkan dalam pembahasan ODGJ secara ilmiah.Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI juga tidak menyebutkan sakit gila, namun gangguan jiwa yang pasiennya disebut ODGJ. Munculnya ODGJ biasanya berhubungan dengan masalah dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau masalah keluarga.KESIMPULANInformasi tentang KPU melakukan pendataan orang gila untuk kepentingan Pemilu, adalah tidak benar. Faktanya, berita tersebut bukan terkait pendataan pemilu, melainkan kegiatan sosialisasi tata cara pencoblosan Pemilu 2019 pada kelompok ODGJ di sebuah pesantren, di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. SUMBER FAKTA:
https://cekfakta.tempo.co/fakta/2509/menyesatkan-kpu-mendata-orang-gila-untuk-pencoblosan-pemilu
https://www.cnnindonesia.com/tv/20190319132945-404-378673/puluhan-orang-gangguan-jiwa-ikut-pemilu
Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia telah menggelar pemilihan umum atau pemilu sebanyak 13 kali. Pemilu pertama kali berlangsung pada tahun 1955. Pemilu 1955 sejauh ini masih dianggap sebagai salah satu pemilu paling bersih dalam sejarah Indonesia pasca proklamasi 1945.
Pada waktu itu, rakyat Indonesia memilih wakilnya di parlemen maupun di konstituante secara langsung. Hasil pemilu 1955 merepresentasikan 3 poros utama politik Indonesia pada Orde Lama, ada kalangan Marhaenisme yang dimanifestasikan oleh PNI, kelompok agama Islam terutama Masyumi dan NU, serta kelompok komunis yakni PKI.
Secara berturut-turut, PNI, Masyumi, NU dan PKI memperoleh suara paling banyak pada pelaksanaan Pemilu 1955. Namun demikian, bulan madu demokrasi itu hanya berlangsung seumur jagung, karena pada 1959, Sukarno memutuskan membubarkan konstituante dan kembali melaksanakan UUD 1945. Masa ini kemudian dikenal sebagai demokrasi terpimpin.
Selama pelaksanaan demokrasi terpimpin, Sukarno sama sekali tidak menyelenggarakan pemilihan umum, sampai akhirnya dia jatuh karena keriuhan politik, khususnya pasca terbunuhnya jenderal TNI AD oleh G30S 1965. Demokrasi semakin mati suri. Suharto yang berlatarbelakang militer naik ke tampuk kekuasaan.
Pada 1971, pemilu kembali bergulir, hasilnya Golkar sebagai pemenang. NU berada di peringkat kedua dan PNI di peringkat ketiga. Lagi-lagi bulan madu Orde Baru dengan demokrasi berlangsung hanya sebentar, pasalnya pada tahun 1973, di bawah komando Ali Moertopo, Orde Baru berupaya menciptakan stabilitas. Partai yang semula 34 (Pemilu 1955) dan 10 (Pemilu 1971) diringkas menjadi 2 dan satu golongan.
Ketiga kelompok itu adalah Golkar, kelompok Islam dilebur jadi PPP, dan nasionalis, katolik, termasuk Murba ke PDI. Pada pemilu 1977 sampai 1997 politik Indonesia didominasi Golkar. Sistem multi partai kembali diterapkan pada pasca reformasi. PDI pecah menjadi PDI Soerjani dan PDIP Megawati, muncul partai baru seperti PKB yang membangkitkan romantisme NU, PAN, hingga Partai Keadilan kemudian menjadi PKS.
Selama reformasi, pemenang Pemilu datang silih berganti, pada tahun 2024 untuk pertama kalinya pemilih memilih presiden secara langsung. Tahun 2009, diberlakukan sistem proporasional terbuka, sehingga rakyat memilih calon presiden sekaligus calon legislatif secara langsung.